JAKARTA, BursaNusantara.com – Pemerintah menjadikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai satu dari delapan prioritas nasional dengan anggaran jumbo, tetapi realisasi belanjanya macet dan justru berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi.
Peneliti CSIS Riandy Laksono menilai kinerja belanja MBG masih bermasalah baik dari sisi pencairan maupun dampak ekonomi, sehingga belum bisa menjadi motor pertumbuhan.
Ia menegaskan masalah disbursement MBG perlu segera ditangani, sebab lambannya realisasi membuat uang negara tertahan di kas pemerintah dan tidak mengalir ke masyarakat.
Riandy menyarankan alokasi MBG yang belum terserap dialihkan ke sektor lain yang sebelumnya dipangkas, seperti perjalanan dinas dan infrastruktur, agar belanja negara tetap berputar.
Pada 2025 pemerintah awalnya menargetkan anggaran MBG Rp71 triliun, namun kemudian ditambah Rp100 triliun menjadi Rp171 triliun dengan janji diperluas lagi pada 2026 menjadi Rp335 triliun.
Target penerima MBG 2026 mencapai 82,9 juta orang, termasuk siswa, ibu hamil, dan balita, sehingga menempatkan program ini sebagai salah satu yang paling ambisius sepanjang sejarah APBN.
Efisiensi Anggaran Menjadi Bumerang
Untuk membiayai MBG, pemerintah melakukan efisiensi belanja pada 2026, melanjutkan kebijakan yang sudah berjalan sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran.
Inpres tersebut memotong belanja Rp306,69 triliun, terdiri atas Rp256,1 triliun efisiensi K/L dan Rp50,5 triliun efisiensi transfer ke daerah, yang dampaknya langsung menekan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 menjadi 4,87%.
Menurut Riandy, kebijakan efisiensi berskala besar ini kontraproduktif karena memukul sektor yang justru bisa mendongkrak pertumbuhan, seperti pariwisata, perhotelan, makanan, dan minuman.
Ia mengingatkan prinsip utama belanja negara adalah mengalirkan uang ke masyarakat bawah, bukan menahannya di kantong pemerintah ketika ekonomi sedang sulit.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemerintah sebenarnya sudah membuka blokir Rp134,9 triliun dari hasil efisiensi, atau 52,6% dari total anggaran yang dibekukan, namun dampaknya ke ekonomi masih terbatas.
Badan Pusat Statistik mencatat konsumsi pemerintah justru terkontraksi 0,33% pada triwulan II-2025, meski komponen ini berkontribusi 6,93% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Risiko All-In di MBG
Riandy menilai strategi pemerintah yang terlalu bergantung pada MBG sebagai mesin utama belanja negara berisiko tinggi karena tidak ada diversifikasi sumber pertumbuhan dalam APBN.
Jika realisasi MBG macet, otomatis roda ekonomi akan melambat karena sektor lain tidak mendapat ruang cukup untuk bergerak akibat pemotongan anggaran efisiensi.
Diversifikasi belanja negara menjadi solusi agar APBN tidak terjebak hanya pada satu program, misalnya dengan merevisi Inpres efisiensi agar belanja K/L dan TKD bisa kembali lebih longgar.
Ia menekankan perlu ada keseimbangan, sebab program sosial seperti MBG penting untuk jangka panjang, tapi pertumbuhan ekonomi jangka pendek tetap harus dijaga agar daya beli tidak runtuh.
Ketidakpastian regulasi juga membuat K/L dan pemerintah daerah gamang menyalurkan anggaran, sehingga meski blokir dibuka, eksekusi belanja masih tersendat di lapangan.
Janji Presiden dan Efek Multiplier
Dalam pidato RAPBN 2026 di DPR, Presiden Prabowo Subianto menegaskan MBG adalah kunci membangun generasi unggul dengan target menjangkau 82,9 juta penerima di seluruh pelosok negeri.
Ia menekankan program ini bukan hanya memperbaiki gizi anak-anak, tapi juga memberdayakan UMKM lokal, menciptakan ratusan ribu lapangan kerja, dan menguatkan rantai pasok pangan nasional.
Presiden menyebut MBG dapat menggerakkan petani, nelayan, peternak, serta pelaku UMKM melalui suplai bahan baku lokal yang masuk ke rantai distribusi program makan bergizi.
Namun, para ekonom mengingatkan multiplier effect ini hanya bisa terwujud bila masalah pencairan anggaran segera dibereskan, sebab tanpa realisasi cepat janji besar hanya tinggal retorika.
Anggaran besar saja tidak cukup, karena pertumbuhan ekonomi lebih ditentukan oleh kelancaran aliran dana ke masyarakat dan efektivitas belanja di sektor produktif.
Dengan total Rp335 triliun untuk MBG pada 2026, keberhasilan program ini akan diuji dari seberapa cepat dana bisa turun ke bawah, bukan sekadar angka yang tertulis dalam RAPBN.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.