Sentimen Positif Global Tak Cukup Angkat Harga Komoditas
JAKARTA, BursaNusantara.com – Perbaikan hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China tampaknya belum cukup kuat menopang harga komoditas global.
Meskipun kedua negara sepakat menurunkan tarif impor selama 90 hari, sejumlah harga komoditas strategis masih menunjukkan tren penurunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, pasar komoditas energi, pangan, hingga logam tetap berada dalam fase kontraksi. Hal ini berpotensi memberi tekanan tambahan terhadap pendapatan negara, khususnya dari sisi penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Harga Minyak Global Masih Lesu
Di sektor energi, harga minyak mentah global terpantau berada di level US$ 64,9 per barel per 21 Mei 2025. Angka tersebut mengalami koreksi 2,9% secara bulanan (MtM), 13% sejak awal tahun (YtD), dan 14,5% dibanding tahun sebelumnya (YoY).
“Harga komoditas saat ini beberapa cenderung melemah seperti minyak,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat (23/5).
Kondisi ini mencerminkan bahwa ekspektasi pasar terhadap pemulihan global belum sepenuhnya tercermin dalam permintaan minyak, meski secara geopolitik ada dorongan positif dari hubungan AS-China.
Batu Bara Naik Bulanan, Tapi Masih Tertekan Tahunan
Harga batu bara tercatat US$ 100,4 per metric ton, naik 5,7% MtM, namun tetap tertekan 19,8% YtD dan 20,1% YoY. Ini berarti kenaikan jangka pendek belum cukup untuk menutupi koreksi besar dalam satu tahun terakhir.
Sri Mulyani menegaskan bahwa penurunan tajam harga batu bara tahunan akan berdampak langsung terhadap pendapatan negara dari sektor tersebut.
“Harga batu bara secara tahunan turun cukup dalam 20,1% YoY, makannya nanti penerimaan pajak PNBP itu mengalami dampak,” tuturnya.
CPO dan Beras Alami Tekanan Harga
Sektor pangan juga menghadapi dinamika penurunan harga. Harga Crude Palm Oil (CPO) berada di level US$ 914,4 per ton, mengalami penurunan 2,5% MtM dan 16,9% YtD.
Meski begitu, dibandingkan Mei tahun lalu, harga ini masih lebih tinggi 19,7% YoY.
Sementara itu, harga beras tercatat sebesar US$ 13,2 per cwt, turun 2,8% MtM, 6,2% YtD, dan 24,5% YoY.
Penurunan harga beras ini menurut Sri Mulyani didorong oleh keberhasilan produksi domestik dan panen yang baik, sehingga berdampak pada stabilitas pasokan.
Logam Industri Menunjukkan Sinyal Campuran
Untuk komoditas logam, harga nikel berada di US$ 15.602 per metric ton, turun tipis 0,1% MtM dan 10,8% YoY, namun mencatatkan kenaikan 1,8% YtD. Ini menunjukkan pemulihan terbatas dari sisi permintaan industri.
Di sisi lain, harga tembaga mencatatkan performa positif. Nilainya naik 3,8% MtM, 8,7% YtD, dan 4,1% YoY menjadi US$ 9.533,5 per metric ton.
Kenaikan ini mencerminkan optimisme terhadap pertumbuhan industri manufaktur global, terutama dari sektor kendaraan listrik dan konstruksi.
Tekanan pada APBN, Perlu Strategi Diversifikasi
Meski sebagian komoditas seperti tembaga menunjukkan pemulihan, mayoritas lainnya masih bergerak di zona merah.
Hal ini membuat proyeksi penerimaan negara dari sektor komoditas mengalami tekanan signifikan, terutama dari sisi PNBP.
Kondisi ini memberi sinyal penting bagi pemerintah untuk memperkuat strategi diversifikasi sumber pendapatan, sekaligus mendorong nilai tambah hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam domestik.
Silakan masuk untuk bergabung dalam diskusi