Sentimen Global Dorong Harga Minyak Menguat
JAKARTA, BursaNusantara.com – Harga minyak mentah dunia ditutup menguat signifikan pada perdagangan Selasa (2/9/2025) dengan lonjakan lebih dari 1% akibat kombinasi sanksi baru Amerika Serikat terhadap Iran dan meningkatnya tensi geopolitik global.
Minyak Brent mencatat kenaikan US$0,99 atau 1,45% ke level US$69,14 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) naik US$1,58 atau 2,47% menjadi US$65,59 per barel setelah libur panjang Hari Buruh di AS.
Pemerintahan Presiden Donald Trump menegaskan tekanan terhadap Iran tetap berlanjut setelah perundingan nuklir terhenti sejak pecahnya perang 12 hari pada Juni lalu.
Analis Price Futures Group, Phil Flynn, menilai sanksi baru Washington yang menyasar pendapatan minyak Iran jelas menopang sentimen positif harga di pasar global.
Kenaikan harga ini juga menunjukkan betapa sensitifnya pasar minyak terhadap dinamika politik global, khususnya di kawasan Timur Tengah yang selama ini menjadi jantung pasokan energi dunia.
OPEC+ Jadi Fokus Pasar Energi
Investor kini mengalihkan perhatian pada pertemuan delapan anggota OPEC+ pada 7 September 2025, yang diyakini menjadi titik krusial arah kebijakan pasokan global.
Arab Saudi dan Rusia diperkirakan tetap berhati-hati serta belum akan mencabut pemangkasan produksi sukarela yang berlaku sejak 2023.
Menurut analis independen Gaurav Sharma, OPEC+ kemungkinan menunggu data tambahan setelah musim puncak permintaan bahan bakar di AS berakhir sebelum mengambil langkah strategis.
Sikap hati-hati OPEC+ dinilai sebagai faktor penting menjaga stabilitas harga di tengah gejolak geopolitik yang semakin kompleks.
Hal ini sekaligus memperkuat ekspektasi bahwa kelompok produsen terbesar dunia tidak ingin menambah ketidakpastian pasar melalui keputusan yang tergesa-gesa.
Sanksi Eropa dan Gangguan Pasokan
Selain sanksi AS terhadap Iran, pasokan global juga terguncang akibat kebijakan Uni Eropa yang menekan ekspor minyak dari kawasan Timur Tengah.
Tiga sumber Reuters menyebut Saudi Aramco dan perusahaan minyak Irak, SOMO, telah menghentikan pasokan ke Nayara Energy India sejak Juli lalu usai sanksi baru UE.
Situasi ini memicu keresahan pasar karena pasokan dari jalur tradisional semakin terbatas, mendorong pembeli mencari alternatif di pasar abu-abu.
Mitra Again Capital, John Kilduff, menilai semakin ketatnya sanksi akan mempersempit ruang pembeli untuk mendapatkan minyak, sehingga harga cenderung bertahan tinggi.
Bagi negara-negara pengimpor besar seperti India, risiko ini bisa menjadi faktor yang mempercepat pergeseran strategi energi.
SCO 2025 Jadi Panggung Ekonomi Baru
Di sisi lain, KTT Shanghai Cooperation Organisation (SCO) 2025 yang digelar dengan dihadiri Presiden China Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, serta lebih dari 20 pemimpin negara non-Barat, menjadi perhatian investor energi global.
Konferensi ini membahas peluang membangun tatanan ekonomi baru yang lebih berpihak pada negara berkembang, sekaligus menantang dominasi Barat di pasar energi.
Kilduff menilai forum ini bisa mendorong Trump mengambil langkah tambahan, termasuk kemungkinan sanksi terhadap India, yang ironisnya akan memperkuat harga minyak.
Situasi ini memperlihatkan bahwa harga minyak kini tidak hanya ditentukan oleh keseimbangan pasokan dan permintaan, tetapi juga oleh arah politik global.
Bila ketegangan antara blok Barat dan negara-negara SCO meningkat, pasar energi bisa menghadapi lonjakan volatilitas baru.
Faktor Tambahan dari Rusia dan Asia Tengah
Konflik Rusia-Ukraina kembali menekan pasokan setelah serangan drone Ukraina menutup fasilitas pengolahan minyak Rusia yang mewakili 17% kapasitas atau sekitar 1,1 juta barel per hari.
Gangguan ini semakin menambah tekanan pada pasar energi global yang sudah rentan akibat sanksi dan ketegangan geopolitik.
Dari Asia Tengah, produksi minyak Kazakhstan justru meningkat pada Agustus menjadi 1,88 juta barel per hari, naik 2% dibanding Juli, memberi sedikit penyeimbang di tengah pasar yang ketat.
Namun tambahan produksi ini belum cukup untuk mengimbangi risiko penurunan pasokan dari Rusia dan Timur Tengah.
Dengan kombinasi faktor geopolitik, sanksi, serta kebijakan OPEC+, arah harga minyak diperkirakan tetap berada di jalur penguatan dalam jangka pendek.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.