Geser kebawah untuk baca artikel
KomoditasPasar

Harga Minyak Tergerus, Pasar Cemaskan Inflasi & Tarif Baru

×

Harga Minyak Tergerus, Pasar Cemaskan Inflasi & Tarif Baru

Sebarkan artikel ini
Harga Minyak Tergerus, Pasar Cemaskan Inflasi & Tarif Baru
Harga minyak turun akibat ketidakpastian kebijakan tarif AS. Pasar cemas akan perlambatan global dan penurunan permintaan energi.

HOUSTON, BursaNusantara.com – Harga minyak dunia kembali mencatat pelemahan pada perdagangan Selasa (15/4/2025), seiring meningkatnya kehati-hatian investor terhadap dinamika kebijakan tarif impor yang digulirkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Ketidakpastian terkait arah perang dagang AS-China terus membayangi pasar komoditas global, memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi dan penurunan permintaan energi.

Sponsor

Sponsor

Harga Brent dan WTI Terkoreksi

Mengutip data dari Reuters, harga minyak jenis Brent turun 21 sen atau 0,3% menjadi US$ 64,67 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) merosot 20 sen atau 0,3% ke level US$ 61,33 per barel.

Koreksi ini menambah tekanan negatif terhadap pasar minyak global yang sepanjang April 2025 telah mencatat penurunan sekitar 13%.

Baca Juga: Harga Minyak Anjlok Usai Trump Kembali Tekankan Produksi AS

Lonjakan pasokan dari negara-negara OPEC+ dan kekhawatiran seputar tensi perdagangan menjadi katalis utama pelemahan harga.

Proyeksi Permintaan Turun, Pasar Tertekan

Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam laporan hari Senin menurunkan proyeksi permintaan global untuk sisa tahun ini.

Sejalan dengan itu, Badan Energi Internasional (IEA) juga memangkas estimasi pertumbuhan permintaan minyak global tahun 2025, menyebutnya sebagai yang terlemah dalam lima tahun terakhir.

Lembaga keuangan internasional seperti UBS, HSBC, dan BNP Paribas ikut memangkas proyeksi harga minyak mereka.

Baca Juga: Gejolak Pasar Minyak: Lonjakan Harga Akibat Sanksi AS

UBS bahkan memperingatkan bahwa jika tensi dagang semakin memburuk, Brent bisa turun ke kisaran US$ 40–60 per barel dalam beberapa bulan ke depan.

“Jika perang dagang memicu resesi di AS dan perlambatan tajam di China, risiko terhadap harga minyak menjadi sangat signifikan,” ujar Giovanni Staunovo, analis UBS.

Sentimen Positif Terbatas dari Kebijakan AS

Meski pasar didera tekanan, sentimen positif sempat muncul setelah Presiden Trump menyampaikan kemungkinan pelonggaran tarif 25% untuk impor mobil dari Meksiko dan negara lain.

Namun, kebijakan perdagangan AS yang inkonsisten misalnya pencabutan sementara terhadap tarif produk elektronik yang kemudian dibatalkan menambah ketidakjelasan arah kebijakan. Hal ini turut membuat pelaku pasar enggan mengambil posisi agresif di pasar minyak.

Baca Juga: Minyak Brent Capai USD 82, Rekor Tertinggi sejak 2024

Kekhawatiran Inflasi dan Konsumsi AS

Sejumlah eksekutif bank AS memperingatkan bahwa ketidakpastian tarif dapat mengganggu konsumsi domestik. Maret lalu, harga impor AS justru turun akibat melemahnya harga energi.

Namun, para analis khawatir kebijakan tarif baru justru dapat memicu lonjakan inflasi, menyulitkan The Fed untuk melonggarkan suku bunga dalam waktu dekat.

The Fed sendiri saat ini berada dalam posisi menahan suku bunga, sembari mencermati dampak lanjutan dari kondisi eksternal dan tren inflasi domestik.

Produksi dan Stok Minyak AS Jadi Perhatian

Badan Informasi Energi AS (EIA) memperkirakan produksi minyak domestik akan mencapai puncaknya pada 14 juta barel per hari pada 2027, dan mulai menurun secara bertahap hingga akhir dekade.

Baca Juga: Harga Minyak Melonjak Usai AS Terapkan Sanksi Baru ke Iran

Sementara itu, pasar tengah menanti laporan stok mingguan dari American Petroleum Institute dan EIA. Estimasi awal menunjukkan penurunan stok sebesar 1 juta barel untuk pekan yang berakhir 11 April, jauh berbeda dari kenaikan 2,7 juta barel pada periode yang sama tahun lalu.

Dampak Global Semakin Terlihat

Di China, ekspor melonjak pada Maret akibat akselerasi pengiriman sebelum tarif diberlakukan. Meski begitu, prospek ekonomi China tetap dibayangi tekanan dari meningkatnya tensi perdagangan.

Perdana Menteri Li Qiang meminta eksportir untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat konsumsi domestik sebagai respons atas situasi eksternal yang “berubah secara mendalam”.

Sementara itu di Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) melaporkan adanya pengetatan kredit oleh sejumlah bank, sebagai sinyal kekhawatiran terhadap dampak kebijakan perdagangan global.

Di Jerman, sentimen investor tercatat turun tajam pada April penurunan terdalam sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 akibat ketidakpastian dari kebijakan tarif AS yang terus berubah-ubah.

Situasi pasar yang rapuh menempatkan harga minyak dalam posisi rentan, di mana pernyataan atau keputusan kebijakan dari otoritas besar dunia bisa menjadi pemicu volatilitas yang signifikan dalam waktu singkat.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bursa.Nusantaraofficial.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.