BANDUNG, Bursa.NusantaraOfficial.com – Industri perhotelan di Kota Bandung kini menghadapi tekanan besar akibat kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan oleh pemerintah.
Sejumlah kegiatan seperti rapat, workshop, dan seminar pemerintahan yang biasa digelar di hotel dibatalkan, sehingga berdampak langsung pada pendapatan para pengusaha hotel.
Ketua Perhimpunan Perhotelan dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, menyampaikan bahwa pengusaha hotel di Bandung menderita kerugian mencapai Rp12,8 miliar hanya dalam bulan Februari.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja yang telah diterapkan di berbagai kementerian dan lembaga.
Dampak Kebijakan Efisiensi terhadap Industri Perhotelan
Pembatalan berbagai acara pemerintahan telah mengakibatkan penurunan drastis okupansi hotel di Jawa Barat. Di Kota Bandung, rata-rata tingkat okupansi hanya mencapai 35% hingga 40%, jauh dari target minimum 50% hingga 55% yang diperlukan agar hotel mencapai titik impas.
Data menunjukkan bahwa pangsa pasar Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) dari pemerintah bagi hotel berbintang tiga, empat, dan lima menyumbang sekitar 40% hingga 50% pendapatan, sehingga pembatalan kegiatan ini memiliki dampak yang sangat signifikan.
Dodi Ahmad menjelaskan, “Dampak dari Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi sangat memukul industri perhotelan di Jawa Barat, khususnya di Bandung. Pada Februari ini saja, pembatalan acara dari kementerian yang sebelumnya direncanakan berlangsung di Bandung menyebabkan kehilangan potensi bisnis sebesar Rp12,8 miliar.”
Kerugian yang begitu besar menimbulkan kekhawatiran bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, dampak negatifnya akan semakin berat, bahkan pasca Lebaran nanti.
Tantangan dan Efek Domino
Situasi ini menciptakan efek domino di seluruh ekosistem pendukung hotel. Jika hotel-hotel mengalami penurunan pesanan secara signifikan, vendor yang memasok kebutuhan hotel seperti penyedia makanan dan minuman (F&B), housekeeping, dan vendor lainnya pun akan terdampak.
Penurunan permintaan dari hotel berpotensi memaksa para vendor untuk melakukan pengurangan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan menurunkan daya tahan ekonomi di sektor terkait.
Dodi Ahmad memperingatkan, “Langkah paling pahit yang mungkin harus diambil adalah pemangkasan jumlah karyawan hingga 50%. Jika kondisi ini terus berlanjut, industri perhotelan akan menghadapi tantangan besar, dan rata-rata hotel hanya bisa bertahan sekitar empat bulan dengan defisit pendapatan sebesar 26%.”
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, mengingat pemilik hotel saat ini mengandalkan tabungan untuk bertahan, namun tingkat okupansi yang rendah membuat mereka sulit mencapai break-even point.
Respons dan Harapan PHRI
PHRI Jawa Barat telah menghimbau pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan efisiensi tersebut demi keberlangsungan industri perhotelan dan sektor ekonomi yang terkait. Dodi Ahmad menyatakan bahwa sektor perhotelan memerlukan perhatian khusus karena kontribusinya yang signifikan terhadap pendapatan daerah dan ekonomi nasional.
“Kami berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali dampak kebijakan ini, terutama mengingat pangsa pasar MICE bagi hotel berbintang sangat besar. Peninjauan ulang sangat penting agar industri perhotelan tidak mengalami kerugian lebih lanjut,” ujarnya.
PHRI juga menginginkan adanya solusi yang dapat mengurangi dampak negatif, seperti kebijakan insentif atau dukungan khusus bagi hotel yang terdampak. Dengan begitu, para pengusaha hotel dapat memperoleh bantuan untuk mempertahankan operasional dan mencegah pemangkasan karyawan yang dapat memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan.
Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 memberikan dampak besar bagi industri perhotelan di Bandung.
Dengan pembatalan berbagai acara pemerintahan, tingkat okupansi hotel turun drastis sehingga menyebabkan kerugian mencapai Rp12,8 miliar hanya dalam satu bulan. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh pengusaha hotel, tetapi juga oleh vendor pendukung yang berpotensi mengalami penurunan permintaan dan harus melakukan pengurangan tenaga kerja.
PHRI Jawa Barat menghimbau agar pemerintah meninjau ulang kebijakan ini untuk menjaga keberlangsungan industri perhotelan dan sektor ekonomi terkait. Jika kebijakan tidak segera diadaptasi, potensi kerugian yang lebih besar akan mengguncang industri ini dan menekan perekonomian lokal secara menyeluruh.