Geser kebawah untuk baca artikel
Internasional

Kecelakaan Jeju Air: Hilangnya Data Kotak Hitam Hambat Investigasi

×

Kecelakaan Jeju Air: Hilangnya Data Kotak Hitam Hambat Investigasi

Sebarkan artikel ini
kecelakaan jeju air hilangnya data kotak hitam hambat investigasi kompres
Investigasi kecelakaan Jeju Air terganjal hilangnya data kotak hitam, membuat penyebab kecelakaan sulit dipastikan. Para ahli soroti pentingnya sistem rekaman.

SEOUL, Bursa.NusantaraOfficial.com – Investigasi kecelakaan Jeju Air menghadapi kendala besar setelah terungkap bahwa kotak hitam pesawat tidak merekam empat menit terakhir sebelum tabrakan dengan localizer di Bandara Internasional Muan. Hilangnya data penting ini memunculkan kekhawatiran dari para ahli penerbangan dan berpotensi menyulitkan penentuan penyebab pasti kecelakaan.

Data yang Hilang Memicu Pertanyaan Kritis

Badan investigasi di bawah Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi, bersama Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB), mengungkapkan pada 12 Januari 2025 bahwa mereka telah mengekstraksi dan menganalisis data kotak hitam antara 7 hingga 11 Januari. Perekam suara kokpit (CVR) terakhir kali merekam data pada pukul 08:58:49 pagi, 29 Desember 2024, beberapa saat sebelum kapten mengumumkan panggilan mayday pada pukul 08:59 pagi. Perekam data penerbangan (FDR) juga berhenti merekam pada waktu yang sama.

Pihak penyelidik sedang menyelidiki alasan mengapa kotak hitam berhenti merekam. Dua penyelidik dari Korea Selatan dijadwalkan kembali dari Amerika Serikat pada 13 Januari 2025 dengan membawa kotak hitam untuk analisis lebih lanjut di Korea Selatan.

“Kami mengidentifikasi pada 4 Januari bahwa CVR telah berhenti merekam, tetapi menunda pengumuman temuan hingga NTSB menyelesaikan verifikasi silang,” ujar seorang pejabat investigasi seperti dikutip Yonhap pada 13 Januari.

Tantangan dalam Analisis Kecelakaan

Para ahli penerbangan mengkhawatirkan dampak hilangnya data yang seharusnya merekam momen-momen penting sebelum kecelakaan. CVR biasanya mencatat percakapan antara kapten dan kopilot, sementara FDR merekam data kinerja pesawat secara terperinci, termasuk daya mesin.

Profesor Kim Kwang-il, ahli operasi penerbangan dari Universitas Silla, menegaskan bahwa investigasi tanpa rekaman ini akan menjadi tantangan besar. “Tanpa rekaman dari momen-momen penentu, menyelidiki penyebab kecelakaan akan sangat sulit,” ungkapnya.

Banyak pertanyaan yang belum terjawab, seperti waktu pasti tabrakan dengan kawanan burung, mesin mana yang mengalami kerusakan, dan apakah roda pendaratan sempat berhenti berfungsi. Sementara beberapa ahli sepakat bahwa kecelakaan ini disebabkan oleh tabrakan burung yang menyebabkan kerusakan mesin hingga memaksa pendaratan darurat, kesimpulan ini masih bersifat spekulatif tanpa adanya bukti langsung.

Keputusan Pilot yang Masih Misterius

Hilangnya data juga mempersulit pengungkapan proses pengambilan keputusan oleh pilot. CVR seharusnya dapat menjelaskan alasan kru memilih untuk tidak mendarat langsung di landasan pacu 1 dan justru mencoba pendaratan darurat di landasan pacu 19 yang berlawanan arah.

Profesor Kwon Bo-heon dari Universitas Timur Jauh menyoroti keterbatasan dalam menganalisis data pendaratan saja. “Tanpa data akurat seperti ketinggian, kecepatan, status mesin, dan pasokan daya saat tabrakan burung, sulit membantah teori alternatif seperti kerusakan mesin akibat faktor lain,” jelasnya.

Kwon menduga bahwa kedua mesin mungkin rusak bersamaan atau segera setelah tabrakan burung, sehingga mempengaruhi catu daya kotak hitam. Meski unit daya tambahan (APU) dapat memberikan daya cadangan, diyakini bahwa pilot tidak sempat atau tidak perlu mengaktifkannya. Selain itu, penyelidik harus mencari tahu mengapa dua baterai cadangan, yang dirancang untuk menyediakan daya secara otomatis saat terjadi kegagalan, tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Implikasi terhadap Akuntabilitas

Hilangnya data penting menyulitkan penentuan tanggung jawab atas kecelakaan ini. Apakah tabrakan burung terjadi di dalam atau luar batas bandara akan sangat mempengaruhi tingkat akuntabilitas yang mungkin ditanggung oleh Korea Airports Corp. atau pihak lain. Tidak adanya rekaman panggilan mayday kapten juga menambah lapisan kompleksitas dalam investigasi ini.

Meskipun menghadapi tantangan, Badan Investigasi Kecelakaan Penerbangan dan Kereta Api (ARAIB) menegaskan komitmennya untuk menganalisis bukti lain guna menentukan penyebab kecelakaan. Puing-puing mesin dan sayap pesawat akan dipindahkan dari Bandara Internasional Muan ke pusat pengujian ARAIB di Bandara Internasional Gimpo pada akhir Januari 2025 untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Tidak Ada Daya Cadangan untuk Kotak Hitam

Media melaporkan bahwa pesawat Jeju Air yang mengalami kecelakaan tidak dilengkapi dengan Recorder Independent Power Supply (RIPS). Baterai cadangan ini terhubung ke CVR untuk memastikan rekaman audio kokpit, termasuk komunikasi dari kapten, tetap terekam selama lebih dari sembilan menit jika terjadi kegagalan daya. Standar Teknis Operasional Korea Selatan untuk Pesawat Sayap Tetap yang diperbarui pada 1 Januari 2018 mewajibkan semua pesawat yang diperkenalkan setelah tanggal tersebut untuk memasang RIPS pada CVR mereka.

Namun, aturan ini tidak berlaku surut sehingga pesawat yang mengalami kecelakaan, yang diperkenalkan pada 2017, dikecualikan dari persyaratan tersebut.

Berbeda dengan CVR, FDR tidak diwajibkan memiliki daya cadangan karena sinyal elektronik yang direkamnya akan berhenti begitu pesawat kehilangan daya. Oleh karena itu, catu daya cadangan untuk FDR dianggap tidak diperlukan.

Kesimpulan

Investigasi kecelakaan Jeju Air yang terkendala data kotak hitam menyoroti pentingnya sistem perekaman yang lebih andal dalam menjamin keselamatan penerbangan. Hasil investigasi ini nantinya diperkirakan akan berdampak pada peraturan keselamatan dan standar akuntabilitas di industri penerbangan.

Ikuti media sosial kami untuk update terbaru