Geser kebawah untuk baca artikel
Nasional

Keluhan Peserta BPJS Ketenagakerjaan Viral: Mengapa Ulasan Negatif Mendominasi Media Sosial?

×

Keluhan Peserta BPJS Ketenagakerjaan Viral: Mengapa Ulasan Negatif Mendominasi Media Sosial?

Sebarkan artikel ini
keluhan peserta bpjs ketenagakerjaan viral
Viralnya keluhan pencairan JHT melalui aplikasi JMO menyoroti dominasi ulasan negatif di media sosial. Mengapa narasi negatif lebih cepat menyebar dibanding ulasan positif?

Jakarta, Bursa Nusantara – Pada September 2024, media sosial diramaikan oleh keluhan peserta BPJS Ketenagakerjaan terkait lamanya proses pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) melalui aplikasi Jamsostek Mobile (JMO).

Fenomena Viral Keluhan BPJS Ketenagakerjaan di Media Sosial

Salah satu keluhan viral diunggah melalui kolom komentar akun Instagram resmi BPJS Ketenagakerjaan (@bpjs.ketenagakerjaann) serta platform X (dulu dikenal sebagai Twitter). Peserta mengungkapkan rasa frustrasi karena klaim mereka tak kunjung cair, dan proses pencairan dinilai terlalu lama.

Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, menjelaskan bahwa durasi pencairan JHT bergantung pada beberapa faktor, seperti jumlah saldo yang akan dicairkan dan kelengkapan dokumen. Jika saldo di bawah Rp10 juta dan dokumen telah lengkap, pencairan akan diproses dalam waktu maksimal satu hari kerja. Namun, untuk saldo di atas Rp10 juta, proses pencairan membutuhkan waktu hingga lima hari kerja setelah dokumen dinyatakan lengkap dan benar.

Kanal Layanan BPJS untuk Pencairan JHT

Untuk mempermudah proses klaim, BPJS Ketenagakerjaan menyediakan berbagai kanal layanan, termasuk:

  1. Aplikasi JMO: Ditujukan untuk peserta dengan saldo JHT di bawah Rp10 juta.
  2. Kantor Cabang: Peserta dengan saldo di atas Rp10 juta dapat mengajukan klaim langsung ke kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan.
  3. Website Lapak Asik: Kanal digital lainnya yang disiapkan untuk melayani klaim peserta dengan saldo lebih besar.

Meski kanal layanan ini sudah tersedia, keluhan tetap bermunculan. Hal ini menyoroti perlunya BPJS Ketenagakerjaan untuk terus meningkatkan efisiensi, transparansi, dan responsivitas layanan agar memenuhi harapan peserta.

Mengapa Ulasan Negatif Mendominasi Media Sosial?

Fenomena viralnya keluhan peserta BPJS dapat dijelaskan melalui beberapa teori komunikasi dan psikologi, termasuk Spiral of Silence Theory oleh Elisabeth Noelle-Neumann (1974) dan konsep negativity bias dari Daniel Kahneman (2011). Kedua teori ini menjelaskan bagaimana narasi negatif lebih cepat menyebar dibandingkan narasi positif.

  1. Emosi Kuat pada Keluhan Negatif
    Keluhan seperti keterlambatan pencairan klaim JHT sering memicu emosi kuat seperti frustrasi, marah, atau kecewa. Emosi ini lebih mudah menarik simpati audiens dibandingkan ulasan positif yang sering dianggap sebagai hal biasa.
  2. Dampak Algoritma Media Sosial
    Algoritma di platform seperti Instagram dan X dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu interaksi tinggi, seperti komentar atau reaksi emosi. Keluhan negatif cenderung menciptakan diskusi yang lebih intens dan berujung pada tingginya tingkat interaksi. Akibatnya, keluhan ini lebih sering muncul di timeline pengguna dibandingkan ulasan positif yang cenderung diabaikan.
  3. Dominasi Narasi Negatif di Ruang Publik
    Menurut Spiral of Silence Theory, individu yang memiliki pengalaman positif cenderung diam ketika opini mayoritas yang viral bersifat negatif. Mereka khawatir opini positif mereka dianggap tidak relevan atau malah memicu kontroversi. Hal ini membuat narasi negatif semakin mendominasi ruang publik digital.

Kasus BPJS dan Tantangan Komunikasi Publik

Dalam konteks pelayanan publik, ekspektasi masyarakat terhadap lembaga seperti BPJS Ketenagakerjaan sangat tinggi. Ketika pelayanan tidak memenuhi harapan, kekecewaan yang timbul sering kali lebih besar dibandingkan dengan sektor swasta. Hal ini membuat peserta lebih terdorong untuk mengungkapkan keluhan mereka.

Keluhan viral terkait BPJS Ketenagakerjaan biasanya mencakup dua isu utama:

  1. Keterlambatan Pencairan JHT: Peserta merasa proses klaim terlalu lama dan kurang transparan.
  2. Kesulitan Penggunaan Aplikasi JMO: Beberapa peserta mengaku kesulitan memahami cara kerja aplikasi atau menghadapi masalah teknis lainnya.

Meski data internal BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa mayoritas klaim diproses tepat waktu dan peserta merasa puas, pengalaman ini jarang dipublikasikan. Akibatnya, persepsi publik lebih terpengaruh oleh narasi negatif yang viral.

Langkah BPJS Mengelola Narasi Negatif

BPJS Ketenagakerjaan telah mengambil berbagai langkah untuk mengelola Negative Word of Mouth (NWOM) sekaligus mendorong Positive Word of Mouth (PWOM) demi membangun citra institusi yang lebih baik:

  1. Kampanye Narasi Positif:
    BPJS dapat meluncurkan kampanye digital yang mendorong peserta untuk membagikan pengalaman positif mereka. Pemberian insentif, seperti penghargaan atau pengakuan, bisa menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan partisipasi peserta.
  2. Edukasi Layanan Digital:
    BPJS aktif mengedukasi peserta mengenai cara menggunakan aplikasi JMO dan layanan digital lainnya. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi kesalahpahaman atau kendala teknis yang sering menjadi sumber keluhan.
  3. Respons Cepat dan Empati:
    Tim respons digital dilatih untuk menangani keluhan dengan empati dan profesionalisme. Respons yang cepat dan solutif dapat membantu meredam emosi negatif sebelum keluhan menyebar lebih luas di media sosial.

Mengubah Tantangan Menjadi Peluang

Fenomena NWOM di media sosial, meskipun menantang, dapat menjadi peluang bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan pelayanan. Dengan strategi komunikasi yang efektif, BPJS tidak hanya dapat meminimalkan keluhan, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap layanan yang disediakan.

Selain itu, peningkatan transparansi dan efisiensi dalam proses klaim JHT menjadi langkah krusial untuk mengatasi persepsi negatif. Ketika peserta merasa didengar dan dilayani dengan baik, narasi positif akan secara alami tumbuh dan mendominasi ruang publik.