LONDON, BursaNusantara.com – Lonjakan harga minyak global hingga 20% sepanjang Juni 2025 menjadi peringatan serius bagi pasar internasional yang mulai bergolak akibat eskalasi konflik Iran dan Israel.
Harga minyak mentah Brent kini diperdagangkan di kisaran US$ 77 per barel, menguat signifikan dibanding bulan sebelumnya, dan mencatatkan laju bulanan tertajam sejak tahun 2020.
Investor dan analis mulai mengkhawatirkan skenario terburuk dari konflik geopolitik di Timur Tengah, terutama potensi terganggunya jalur vital Selat Hormuz.
Ketegangan ini disebut-sebut mampu mengerek harga minyak kembali ke kisaran US$ 100 per barel, sebuah level yang bisa menekan konsumsi, memperparah inflasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Christophe Boucher, CIO ABN AMRO Solutions, menyatakan bahwa jika harga menembus dan bertahan di atas kisaran US$ 80-100, dampaknya bisa sangat besar terhadap prospek ekonomi global.
Risiko Gangguan Pasokan dan Jalur Minyak Strategis
Salah satu kekhawatiran terbesar datang dari Selat Hormuz, jalur ekspor minyak utama dunia yang menyalurkan sekitar 20% konsumsi minyak global.
Selat yang terletak antara Oman dan Iran ini berpotensi menjadi titik rawan apabila konflik berkembang menjadi blokade maritim atau eskalasi militer terbuka.
Kondisi ini membuat pasar langsung memasang harga premium pada kontrak Brent bulan pertama, yang kini menunjukkan level tertinggi dalam enam bulan terakhir.
Sentimen pasar mencerminkan potensi gangguan pasokan jangka menengah, bukan hanya akibat konflik langsung, tetapi juga ketegangan diplomatik dan embargo yang bisa muncul sewaktu-waktu.
Produksi OPEC+ sempat naik 180 ribu bph pada Mei menjadi 41,23 juta bph, namun masih belum mampu menutup ekspektasi pasar yang mengharapkan penambahan lebih besar.
Sinyal Awal Kegelisahan: China dan Tarif Pengiriman
Menurut analis senior Svelland Capital, Nadia Martin Wiggen, pergerakan harga pengiriman minyak mentah akan menjadi indikator awal arah harga energi global.
Ketika China mulai khawatir dan membeli dalam volume besar, tarif pengiriman akan naik dan harga energi global bakal terdorong lebih tinggi secara agresif.
Kondisi ini akan mendorong negara-negara pengimpor utama seperti Jepang, Eropa, India, hingga Turki dan Pakistan dalam tekanan inflasi yang lebih besar.
Kenaikan harga energi akan secara langsung memangkas daya beli dan memperburuk defisit transaksi berjalan negara-negara pengimpor minyak.
Ketidakstabilan ini juga dapat memperburuk neraca perdagangan dan membebani kurs mata uang lokal, khususnya di negara berkembang yang rentan terhadap volatilitas energi.
Dampak Inflasi dan Pelemahan Dolar AS
Samy Chaar, Kepala Ekonom Lombard Odier, mengingatkan bahwa harga minyak di atas US$ 100 dapat memangkas pertumbuhan ekonomi global hingga 1% dan menambah inflasi 1% secara agregat.
Di Amerika Serikat, skenario harga minyak stabil di level US$ 75 saja bisa mengerek CPI tahunan dari 3% menjadi 3,5% pada akhir tahun, menurut RBC.
Uniknya, meskipun harga minyak melonjak, nilai tukar dolar AS justru tidak menguat signifikan, hanya naik 0,7% dalam sepekan terakhir.
Bahkan secara tahunan, dolar melemah hampir 9% terhadap mata uang utama lainnya, memberikan kelegaan sementara bagi negara-negara pengimpor minyak.
Analis UniCredit menilai pelemahan dolar ini turut membantu meredam dampak harga energi yang melonjak, terutama bagi negara-negara berkembang yang rawan gejolak eksternal.
Saham Energi dan Pertahanan Menguat, Konsumen Energi Terpukul
Respons pasar saham global terhadap lonjakan harga minyak terbilang kontras: tidak ada kepanikan besar, namun sektor-sektor tertentu menunjukkan pergerakan mencolok.
Saham energi, terutama perusahaan minyak dan gas di AS dan Eropa, mengalami reli signifikan karena ekspektasi kenaikan margin keuntungan.
Saham perusahaan pertahanan juga turut menguat, mencerminkan kekhawatiran investor atas kemungkinan konflik jangka panjang di kawasan Timur Tengah.
Sebaliknya, sektor yang paling terpukul adalah maskapai penerbangan dan perusahaan konsumen energi yang bergantung pada stabilitas harga bahan bakar.
Menariknya, indeks saham utama Israel TA125 justru naik 6% dalam sepekan terakhir, menjadikannya salah satu indeks dengan performa terbaik di kawasan.
Investor Waspada, Tapi Belum Panik
Meskipun risiko geopolitik dan harga energi meningkat tajam, sebagian besar pasar saham global masih stabil di dekat rekor tertinggi.
Para pelaku pasar tampaknya masih menahan reaksi hingga ada konfirmasi nyata akan perluasan konflik atau terganggunya rantai pasokan energi global.
Untuk saat ini, pasar lebih memilih mengkalkulasi risiko daripada bereaksi emosional terhadap ketegangan Timur Tengah yang belum memburuk ke level kritis.
Namun bila konflik berkembang menjadi blokade energi atau serangan lintas batas yang meluas, dampaknya bisa menjalar cepat ke seluruh kelas aset.
Investor harus bersiap menghadapi volatilitas tinggi di pasar energi dan komoditas, serta potensi tekanan baru di pasar obligasi dan mata uang global.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.