JAKARTA, BursaNusantara.com – Di tengah kelesuan pasar global dan ketatnya tekanan fiskal, pemerintah bersiap meluncurkan formula bea keluar ekspor batu bara.
Kebijakan ini menempatkan sektor pertambangan pada persimpangan yang sulit: antara mendukung penerimaan negara atau mempertahankan daya saing ekspor.
Rencana ini muncul dari pembahasan lintas kementerian yang dikomandoi oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. Formula bea keluar akan diumumkan resmi bulan ini, dengan pendekatan fleksibel berdasarkan tingkat harga dan kalori batu bara.
Namun, fleksibilitas yang ditawarkan belum menjawab kegelisahan pelaku industri yang menilai langkah ini bisa menjadi beban baru bagi sektor yang tengah tertekan.
Negara Butuh Fiskal, Industri Butuh Napas
Skema pajak ekspor batu bara disusun berbasis penyetaraan harga pada kalori tinggi (6.322 kcal/kg GAR), bukan langsung dari harga jual di pasar.
Dengan pendekatan ini, jika harga batu bara melambung, maka pungutan ekspor akan diberlakukan. Namun hingga kini, belum ada kejelasan mengenai titik harga yang akan menjadi pemicunya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, mengonfirmasi bahwa formula telah dirancang. Namun detail angka, seperti ambang batas harga ekspor, masih disimpan.
“Agustus nanti akan diumumkan,” ujarnya pekan lalu di Jakarta.
Pelaku industri mempertanyakan urgensi kebijakan ini. Apalagi mereka masih dibebani kenaikan royalti, ketentuan DHE, serta fluktuasi permintaan ekspor.
Industri Batu Bara Terjepit Tekanan Global
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) masih menahan komentar soal formula bea keluar, menanti kejelasan dari pemerintah. Namun mereka telah menyiapkan masukan formal.
“Dalam kondisi sekarang ini, pelaku usaha masih menanggung berbagai beban fiskal lainnya, lalu kenaikan biaya produksi di tengah permintaan yang sedang tidak stabil,” kata Gita Mahyarani, Plt Direktur Eksekutif APBI.
Tekanan itu nyata. Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, mengungkapkan bahwa ekspor batu bara Indonesia terkoreksi akibat menurunnya permintaan global, terutama dari China dan India.
Dengan pasar utama yang menyusut, harga batu bara mengalami tekanan signifikan. Singgih menilai, penerapan bea keluar saat ini bukan hanya keliru secara waktu, tetapi berisiko memperdalam pelemahan industri.
“Ini bisa jadi pukulan lanjutan setelah kenaikan royalti dan kebijakan B40. Industri ini sudah rapuh,” tegasnya.
Dilema Kebijakan: Mengisi Kas Negara atau Jaga Industri?
Kebijakan bea keluar bukan sekadar teknis fiskal, melainkan strategi ekonomi yang membawa implikasi luas. Pemerintah ingin mengoptimalkan penerimaan negara, terlebih di tengah belanja fiskal yang tinggi.
Namun, strategi ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, menambah pendapatan negara. Di sisi lain, mempercepat penurunan daya saing batu bara Indonesia dibanding produsen besar lain seperti Rusia atau Australia.
Pakar menilai, pemerintah harus lebih jernih melihat dampak jangka panjang. Batu bara masih menjadi penyumbang terbesar devisa ekspor sektor tambang.
Menekan industri ini terlalu dalam bisa berdampak pada lapangan kerja, investasi, dan pertumbuhan kawasan berbasis tambang.
Apalagi dalam situasi geopolitik global yang tak menentu, kebijakan fiskal yang tidak sinkron dengan iklim bisnis justru memperbesar volatilitas.
Para pelaku usaha menuntut ruang dialog lebih terbuka. Jika bea keluar memang harus diterapkan, maka skema dan timing-nya harus tepat, adil, dan berpihak pada keberlanjutan industri, bukan semata kas negara.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.