Harga Minyak Berfluktuasi Akibat Perang Dagang AS-China dan Sanksi Iran
Harga minyak mengalami pergerakan yang beragam pada Selasa (4/2/2025). Fluktuasi ini dipicu oleh ketidakpastian yang muncul akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, serta kebijakan ‘tekanan maksimum’ yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump terhadap Iran.
Dampak Sanksi AS terhadap Iran
Presiden Donald Trump menandatangani memorandum presiden sebelum bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Dalam dokumen tersebut, Trump memerintahkan Menteri Keuangan AS untuk menerapkan sanksi ekonomi maksimum terhadap Iran, termasuk mekanisme penegakannya.
Langkah ini bertujuan untuk menekan ekspor minyak Iran hingga nol, sebagaimana dikonfirmasi oleh pejabat AS. Selama masa jabatan pertamanya, Trump telah menekan ekspor minyak Iran hingga hampir nol melalui penerapan kembali sanksi. Namun, di bawah pemerintahan Joe Biden, ekspor minyak Iran kembali meningkat akibat keberhasilan Iran dalam menghindari sanksi tersebut.
Iran, sebagai produsen minyak terbesar ketiga dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), menghasilkan sekitar 3,3 juta barel minyak per hari, atau sekitar 3% dari produksi global. Kebijakan sanksi ketat yang diberlakukan oleh AS kembali menimbulkan ketidakpastian dalam pasar minyak global.
Pergerakan Harga Minyak
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup turun 46 sen (0,63%) menjadi US$ 72,7 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah Brent, yang menjadi acuan global, naik 24 sen (0,32%) menjadi US$ 76,2 per barel.
Baca Juga: Produksi Nikel DKFT Meroket, Optimisme Kinerja 2025 Meningkat
Harga minyak sempat mengalami tekanan akibat penerapan tarif 10% AS terhadap impor China yang mulai berlaku Selasa. Sebagai respons, China memberlakukan tarif balasan, menyebabkan harga minyak WTI sempat turun lebih dari 3% ke level terendah sejak akhir Desember.
Aksi Balasan China dan Dampaknya terhadap Pasar Minyak
Menurut Phil Flynn, analis dari Price Futures Group, harga minyak mengalami tekanan akibat aksi balasan China. Namun, keputusan Trump untuk kembali memperketat sanksi terhadap Iran turut mendorong kenaikan harga kembali.
Sebelumnya, pelaku pasar menantikan kemungkinan pembicaraan antara Trump dan Presiden China, Xi Jinping. Namun, Trump mengindikasikan bahwa ia tidak terburu-buru untuk berbicara dengan Xi. Ketegangan perdagangan yang terus berlangsung berpotensi menekan permintaan minyak dan menghambat kenaikan harga lebih lanjut.
Analis senior OANDA, Kelvin Wong, menyebut bahwa eskalasi kebijakan tarif antara kedua negara dapat memicu pelemahan yuan dan memperkuat dolar AS, yang pada akhirnya berpotensi menekan harga minyak lebih lanjut. Pada 2024, impor minyak mentah China dari AS hanya mencakup 1,7% dari total impor minyaknya, berdasarkan data bea cukai.
Sementara itu, John Kilduff, mitra di Again Capital, menilai bahwa langkah China dalam menargetkan minyak mentah dan gas alam cair dari AS merupakan strategi yang cerdas. Kenaikan tarif sebesar US$ 5 – 7 per barel membuat harga minyak AS menjadi kurang kompetitif di pasar global.
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) Raih Rekor Baru dalam Penjualan Batu Bara 2024
Investor kini menantikan data stok minyak AS yang akan dirilis oleh American Petroleum Institute (API) untuk mengukur kondisi pasokan minyak domestik. Selain itu, pelaku pasar juga mencermati perkembangan lebih lanjut terkait kebijakan perdagangan antara AS dan China, serta implementasi sanksi terhadap Iran yang berpotensi mempengaruhi pergerakan harga minyak ke depan.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.