JAKARTA, BursaNusantara.com – Permintaan emas fisik di kawasan Asia merosot tajam pekan ini seiring lonjakan harga dan turunnya daya beli masyarakat di berbagai negara utama konsumen emas.
India Pangkas Diskon, Tapi Daya Serap Tetap Rendah
Diskon harga emas di India mulai menyempit seiring melemahnya volume impor yang terjadi selama dua bulan terakhir.
Pedagang di Mumbai menyebutkan bahwa diskon yang ditawarkan hanya berkisar US$14 per ons terhadap harga domestik resmi yang sudah mencakup bea impor 6% dan pajak penjualan 3%.
Pekan sebelumnya, diskon tersebut sempat mencapai US$18 per ons, mencerminkan pelemahan lebih dalam.
Harga emas domestik India kini berada di sekitar 97.100 rupee atau Rp1,84 juta per 10 gram, turun dari rekor sebelumnya di 101.078 rupee per 10 gram yang tercapai bulan lalu.
Kondisi ini menimbulkan efek berantai terhadap pasar ritel.
Sejumlah peritel di Kolkata memangkas biaya pembuatan perhiasan demi menarik minat konsumen, namun musim monsun dan harga tinggi membuat permintaan tetap sepi.
Pasar emas India kini berada dalam fase stagnan dengan tekanan dari sisi penawaran dan permintaan.
Premi Emas China Melejit di Tengah Permintaan Lesu
Berbeda dengan India, pasar emas di China justru menunjukkan premi yang meningkat signifikan.
Pedagang emas di Shanghai menyebut premi atas harga spot global naik menjadi US$4,2 hingga US$33 per ons.
Angka ini melonjak dari minggu sebelumnya yang hanya US$12 hingga US$14 per ons.
Meski demikian, volume kontrak fisik AU9999 di Shanghai Gold Exchange justru menunjukkan penurunan aktivitas perdagangan.
Pedagang Hugo Pascal dari InProved menyebut, pembeli ragu masuk pasar kecuali emas menembus US$3.400 per ons dengan peningkatan volume dan volatilitas.
Kondisi ini mengindikasikan permintaan spekulatif belum sepenuhnya bangkit, meski minat terhadap emas sebagai lindung nilai tetap eksis.
Harga Spot Global Sentuh US$3.336, Tapi Pasar Asia Belum Bergairah
Harga emas spot global ditutup di kisaran US$3.336 per ons pada Jumat (4/7/2025), namun harga tinggi ini tidak serta-merta mendorong kenaikan permintaan di Asia.
Pasar Hong Kong menunjukkan perdagangan dari harga setara hingga premi tipis US$1,6 per ons.
Sementara di Singapura, premi hanya US$2,5 per ons, dan di Jepang bahkan lebih rendah yakni dari harga setara hingga US$1 per ons.
Pasar Asia tampak bergerak hati-hati dengan preferensi konservatif dari konsumen emas fisik.
Pedagang di Jepang menambahkan, ketidakpastian hubungan dagang dengan AS dapat menjadi katalis baru.
Jika yen terus melemah, masyarakat Jepang kemungkinan kembali beralih ke emas sebagai instrumen proteksi nilai tukar.
Analis HSBC: Tekanan Permintaan Bisa Berlanjut hingga 2026
Dalam riset terbaru tertanggal 1 Juli, HSBC mengungkapkan bahwa permintaan emas global kemungkinan tetap tertekan hingga 2026.
Faktor utama yang berkontribusi adalah kombinasi perlambatan ekonomi global, tingginya harga emas secara historis, dan ketidakpastian makroekonomi jangka panjang.
Pandangan ini memberikan konteks mendalam terhadap dinamika pasar fisik emas yang stagnan di Asia.
Analis memperkirakan bahwa selera investor akan bergeser ke instrumen lain jika emas tak mampu memberikan imbal hasil yang kompetitif terhadap volatilitas harga.
Dengan harga yang cenderung mendekati titik jenuh psikologis, pergerakan selanjutnya sangat tergantung pada arah kebijakan moneter global.
Ketimpangan Pasar Emas Asia: Diskon India vs Premi China
Fenomena berbeda antara India dan China menunjukkan terjadinya fragmentasi pasar emas di Asia.
India mengalami kelebihan pasokan lokal akibat rendahnya impor, memicu penurunan diskon.
Sementara itu, China justru menghadapi pasokan terbatas, membuat pedagang menaikkan premi dengan harapan menjaga margin di tengah permintaan yang stagnan.
Kondisi ini memperlihatkan pergeseran pola konsumsi emas di Asia yang tidak lagi sejalan dengan tren historis.
Pasar kini dipengaruhi oleh faktor-faktor domestik seperti kebijakan pajak, musim konsumsi, hingga ketegangan geopolitik.
Dengan kontras antara diskon India dan premi China, arah harga emas di Asia tampak semakin sulit diprediksi tanpa melihat konteks tiap negara secara mikro.
Volatilitas Jadi Kunci Rebound atau Penurunan Lanjut
Para pelaku pasar mulai mengantisipasi bahwa arah selanjutnya dari harga emas sangat ditentukan oleh intensitas volatilitas jangka pendek.
Pedagang emas menyebutkan bahwa pasar membutuhkan pemicu yang lebih kuat, baik berupa ketegangan geopolitik, krisis likuiditas, atau kejutan makroekonomi.
Jika tidak, maka harga akan tetap bergerak dalam kisaran sempit dan membebani sentimen konsumen emas fisik.
Pasar Asia tengah menghadapi transisi dari periode akumulasi ke fase tunggu dan lihat (wait and see).
Untuk saat ini, pembeli ritel dan institusional cenderung memilih posisi netral sambil menunggu penurunan harga atau sinyal teknikal yang kuat.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.