JAKARTA, BursaNusantara.com – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) kembali menjadi sorotan usai ultimatum dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).
Pemerintah mengancam akan mengambil sebagian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PTBA bila tidak menjalankan proyek tersebut.
Sekretaris Perusahaan PTBA, Niko Chandra, mengatakan bahwa proyek hilirisasi batu bara adalah bagian dari strategi nasional untuk meningkatkan nilai tambah dan mendukung ketahanan energi.
“PTBA sebagai perusahaan tambang batu bara terbesar memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung hilirisasi,” kata Niko, Jumat (9/5/2025).
Baca Juga: Ekspor Batubara RI Anjlok, China-India Pangkas Impor Awal 2025
Ancaman Pengambilalihan Wilayah Izin Usaha
Ultimatum keras disampaikan Bahlil sehari sebelumnya. Ia menegaskan bahwa PTBA sebagai perusahaan pelat merah harus tunduk pada kebijakan pemerintah, termasuk program hilirisasi yang menjadi andalan Presiden Prabowo Subianto.
“Kalau tidak menjalankan tugas, kita ambil sebagian wilayahnya,” tegas Bahlil, Kamis (8/5/2025).
Bahlil menambahkan, kebijakan hilirisasi kini berada di bawah kendali Satuan Tugas Hilirisasi dan Menteri Investasi dan Hilirisasi. Dengan demikian, PTBA tak memiliki ruang untuk menolak atau menunda.
Tidak Wajib, Tapi Didorong
Namun demikian, Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, menegaskan bahwa kewajiban hilirisasi hanya berlaku bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti PTBA.
Baca Juga: Ancaman Menteri ESDM ke PTBA: Proyek DME Mandek, WIUP Bisa Dicabut
“Kalau PTBA itu IUP, tidak punya kewajiban apapun. Tapi kalau mau membangun, silakan,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi XII DPR, Selasa (6/5/2025).
Tri menyebut ada tujuh perusahaan tambang besar yang diwajibkan hilirisasi, termasuk Adaro, Arutmin, dan Kideco. Proyek hilirisasi mereka mencakup produksi DME, metanol, amonia, dan produk turunan lainnya.
Masalah Ekonomi Jadi Penghambat
Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengakui bahwa proyek DME menghadapi berbagai kendala, terutama dalam hal keekonomian. Menurutnya, nilai investasi besar dan harga produksi yang tinggi membuat proyek ini tidak feasible dalam waktu dekat.
“Harga produksi DME hasil kajian kami masih jauh lebih tinggi dari LPG impor,” ucap Arsal.
PTBA mencatat harga produksi DME mencapai US$911 – US$987 per ton, berdasarkan kajian bersama Ernst & Young. Angka ini lebih tinggi dari asumsi pemerintah yang berada di kisaran US$617 per ton.
Subsidi Berpotensi Membengkak Rp41 Triliun
Dengan asumsi kebutuhan tahunan DME mencapai 10,78 juta ton, PTBA memperkirakan subsidi energi akan membengkak. Harga subsidi DME sebesar Rp34.069 per 3 kg akan menghasilkan beban negara sebesar Rp123 triliun per tahun. Bandingkan dengan subsidi LPG saat ini sebesar Rp82 triliun per tahun.
Baca Juga: Blok Masela Terancam Evaluasi! Pemerintah Desak Produksi Segera Dimulai
“Artinya, jika DME dijadikan substitusi LPG, maka akan ada tambahan beban subsidi sekitar Rp41 triliun,” kata Arsal.
Tantangan Infrastruktur dan Mitra Investasi
PTBA juga menghadapi kendala infrastruktur. Arsal menyebut perlu konversi jalur distribusi dan perangkat rumah tangga agar kompatibel dengan DME. Jarak distribusi dari lokasi tambang ke pengguna akhir mencapai 172 km.
Di sisi lain, PTBA masih mencari mitra investasi untuk proyek ini. Dari beberapa perusahaan China yang didekati, hanya East China Engineering Science and Technology Co Ltd (ECEC) yang menyatakan minat, itupun belum dalam skema investasi penuh.
ECEC mengusulkan processing service fee sebesar US$412—US$488 per ton, lebih tinggi dari ekspektasi ESDM pada 2021 sebesar US$310 per ton.
Baca Juga: Pemerintah Bangun Kilang BBM 1 Juta Barel, Danantara Siap Dukung Investasi
Posisi PTBA di Tengah Tekanan
Pemerintah tampak bersikeras mendorong proyek DME sebagai simbol hilirisasi sumber daya alam. Namun PTBA berada dalam posisi dilematis antara memenuhi arahan pemerintah dan menjaga kelayakan bisnis.
Dalam situasi ini, arah kebijakan dan insentif pemerintah akan sangat menentukan. Jika tak ada skema dukungan keekonomian atau subsidi baru, proyek DME rawan menjadi beban operasional.
Keseimbangan Strategi Nasional dan Bisnis
PTBA menyatakan tetap mendukung inisiatif hilirisasi dan membuka peluang kerja sama strategis dengan berbagai pihak. Namun untuk proyek DME, perusahaan menilai perlunya pendekatan realistis agar tidak merugikan keuangan negara maupun korporasi.
Dengan tekanan dari regulator dan tantangan keekonomian yang signifikan, masa depan proyek DME Bukit Asam kini berada di persimpangan antara mandat strategis dan kalkulasi bisnis jangka panjang.
Baca Juga: Strategi Baru Hilirisasi Batu Bara: Pembiayaan Nasional Berperan Vital
Silakan masuk untuk bergabung dalam diskusi