Rupiah Tertekan Menanti Sinyal Kebijakan The Fed
JAKARTA, BursaNusantara.com – Rupiah kembali terhimpit tekanan pada Jumat (22/8/2025) setelah pasar menantikan pidato penting Gubernur The Fed Jerome Powell di simposium Jackson Hole, Wyoming, yang dinilai akan menjadi kunci arah kebijakan moneter jangka pendek Amerika Serikat.
Pada awal perdagangan, Bloomberg mencatat rupiah tertekan 52 poin atau 0,32% menuju Rp16.340 per dolar AS. Di sisi lain, indeks dolar menguat tipis 0,05% ke level 98,66, menunjukkan dominasi greenback masih sulit ditandingi.
Sehari sebelumnya, Kamis (21/8/2025), rupiah juga melemah ke Rp16.245 per dolar AS. Tren pelemahan ini menandakan pasar domestik belum mendapat katalis positif untuk menahan arus keluar modal asing.
Pasar global saat ini bergantung pada arah pidato Powell, apakah akan memperkuat spekulasi pemangkasan suku bunga atau justru menegaskan sikap hati-hati.
Sentimen Berubah dari Data Tenaga Kerja hingga Inflasi
Awalnya, data tenaga kerja AS pada Juli yang lebih lemah dari perkiraan memicu optimisme pasar akan adanya pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat. Bahkan, muncul spekulasi pemangkasan jumbo bisa terjadi pada pertemuan September.
Namun, ekspektasi itu cepat terkoreksi setelah pejabat The Fed memberi komentar hati-hati. Data ekonomi terbaru masih menunjukkan inflasi yang keras kepala, membuat bank sentral enggan terburu-buru menurunkan suku bunga.
Menurut CME FedWatch Tool, peluang pemangkasan 25 basis poin pada September kini tinggal 75%, turun tajam dari 92% pada pekan sebelumnya. Angka ini memperlihatkan keyakinan pasar terhadap stimulus moneter mulai rapuh.
Chief Investment Strategist Saxo, Charu Chanana, menilai Powell kemungkinan besar tidak akan langsung memberi kepastian pemangkasan. Dengan data inflasi dan payrolls masih menunggu rilis, The Fed punya alasan untuk menahan diri sambil menjaga ruang manuver.
Head of International and Sustainable Economics Commonwealth Bank of Australia, Joseph Capurso, menambahkan, risiko justru condong ke arah penguatan dolar AS. Jika Powell menantang ekspektasi pasar, dolar bisa melesat lebih jauh.
Dolar Menguat, Mata Uang Global Tertekan
Dolar indeks kini bertengger di 98,61 atau menguat 0,7% sepanjang pekan ini, memutus tren pelemahan dua pekan sebelumnya. Penguatan dolar menekan mata uang utama dunia dan menciptakan arus modal masuk ke aset berdenominasi greenback.
Euro merosot 0,8% ke US$1,1613, sementara Poundsterling terkoreksi hampir 1% ke US$1,3416. Yen Jepang juga jatuh 0,8% ke 148,45 per dolar, mencatat penurunan mingguan terbesar sejak pertengahan Juli.
Tekanan pada yen dipicu data inflasi inti Jepang yang melambat dua bulan berturut-turut pada Juli, meski tetap di atas target Bank of Japan sebesar 2%. Kondisi ini menjaga ekspektasi pasar bahwa BOJ masih akan menaikkan suku bunga pada Oktober.
Senior Economist ING, Min Joo Kang, menegaskan inflasi inti berpeluang bertahan di atas 3% dalam periode panjang, sehingga normalisasi kebijakan BOJ kemungkinan berlanjut.
Dolar Komoditas Terkoreksi
Sementara itu, dolar Australia stagnan di US$0,6425 dengan pelemahan mingguan 1,2%. Dolar Selandia Baru bahkan lebih terpukul, turun tipis ke US$0,58145 dengan koreksi 1,8% sepanjang pekan, menjadi pelemahan terburuk dalam lebih dari empat bulan terakhir.
Kondisi ini mempertegas dominasi dolar AS di tengah ketidakpastian global, membuat rupiah dan mata uang Asia lain semakin rentan oleh volatilitas.
Pasar kini menanti dengan penuh ketegangan bagaimana Powell menakar keseimbangan antara ancaman inflasi dan melemahnya tenaga kerja. Satu kalimat kunci dari Jackson Hole bisa mengubah arah rupiah dan mata uang dunia dalam sekejap.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.