JAKARTA, BursaNusantara.com – Nilai tukar rupiah gagal menunjukkan daya tahan terhadap dominasi dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini.
Pergerakan rupiah terus menunjukkan fluktuasi di tengah tekanan global yang belum mereda.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), Jumat (20/6), rupiah ditutup di level Rp 16.399 per dolar AS.
Angka tersebut mencerminkan pelemahan sebesar 0,13% dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.
Dalam skala mingguan, rupiah mengalami depresiasi 0,65% terhadap dolar AS menurut acuan Jisdor.
Sementara itu, data pasar spot Bloomberg menunjukkan hasil berbeda meski tetap bernada lemah.
Pada hari yang sama, rupiah tercatat menguat tipis 0,06% menjadi Rp 16.396 per dolar AS.
Namun jika ditarik ke belakang dalam sepekan, posisi rupiah tetap menunjukkan penurunan sebesar 0,54%.
Dolar AS Masih Tangguh karena Sinyal Hawkish The Fed
Pelemahan rupiah secara mingguan dipicu oleh dominasi dolar AS yang makin solid di pasar global.
Kuatnya dolar AS muncul setelah bank sentral AS, The Federal Reserve, mempertahankan nada hawkish dalam pertemuan terbarunya.
Nanang Wahyudin, Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, menilai sikap The Fed menjadi faktor utama tekanan terhadap mata uang emerging market.
“The Fed memilih untuk bersikap berhati-hati dan tetap mempertahankan suku bunga, membuat yield obligasi AS naik,” kata Nanang, Jumat (20/6).
Kondisi ini mendorong investor global untuk menarik dana dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pupusnya harapan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat turut memperparah tekanan terhadap rupiah.
Yield obligasi AS yang tinggi membuat aset di negara maju terlihat lebih menarik dan aman.
Alhasil, terjadi perpindahan portofolio dari pasar berkembang ke negara-negara dengan return lebih pasti.
Risk-Off Meningkat, Aset Safe Haven Diminati
Selain faktor kebijakan The Fed, sentimen pasar global saat ini didominasi oleh kecenderungan risk-off.
Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali membayangi dan memperkuat ketidakpastian.
Investor global mulai mengalihkan asetnya ke instrumen yang dianggap aman seperti dolar AS dan emas.
Nanang menilai, kondisi ini memperkuat permintaan terhadap safe haven dan menekan mata uang negara berkembang.
Di saat yang sama, tekanan terhadap rupiah juga berasal dari aliran modal asing yang meninggalkan pasar obligasi domestik.
Pelemahan teknikal turut memperparah situasi, menciptakan tekanan ganda di pasar mata uang.
Rupiah dalam kondisi seperti ini sulit menguat secara mandiri tanpa dukungan dari sentimen positif baru.
Nanang menyebut, tanpa momentum pemicu yang kuat, pasar valuta domestik tetap rentan terhadap tekanan eksternal.
Intervensi BI dan Prospek Pekan Depan
Menjelang akhir Juni, perhatian pelaku pasar kini beralih ke sejumlah agenda penting pekan depan.
Data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) AS menjadi indikator utama yang diawasi pasar global.
Selain itu, pelaku pasar juga mencermati laporan pertumbuhan ekonomi (GDP) AS serta pidato para pejabat The Fed.
Semua data ini akan membentuk ekspektasi baru terhadap arah kebijakan moneter AS berikutnya.
Dari dalam negeri, stabilitas indeks harga saham gabungan (IHSG) serta pola aliran dana asing akan menjadi kunci.
Nanang memproyeksikan kisaran nilai tukar rupiah masih akan berkutat pada level Rp 16.300 hingga Rp 16.500 per dolar AS dalam sepekan mendatang.
Ia juga menyinggung kemungkinan Bank Indonesia kembali melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar.
“BI bisa masuk lewat pasar valas atau obligasi jika volatilitas terlalu tinggi,” ujarnya.
Namun demikian, intervensi BI diprediksi hanya mampu menahan gejolak sesaat, bukan membalikkan tren sepenuhnya.
Dengan posisi fundamental eksternal yang kuat berpihak pada dolar AS, ruang penguatan rupiah tetap terbatas.
Sentimen global masih menjadi penentu utama arah rupiah ke depan, terutama dari sisi inflasi dan suku bunga AS.
Pergerakan rupiah akan semakin sensitif terhadap komentar dan sinyal kebijakan dari bank sentral AS.
Rupiah Masih Terancam Lemah, Investor Diminta Waspada
Melihat dinamika yang berkembang, investor diimbau untuk berhati-hati dalam menyusun strategi keuangan.
Kondisi pasar yang belum stabil membuat potensi volatilitas di pasar valuta dan obligasi tetap tinggi.
Bagi investor lokal, momentum saat ini lebih tepat untuk mengambil pendekatan defensif dan selektif.
Sementara itu, pelaku pasar institusional perlu memantau secara ketat setiap rilis data ekonomi dari AS.
Ke depan, rupiah diperkirakan masih akan menghadapi tekanan apabila ekspektasi pemangkasan suku bunga AS terus mundur.
Pasar kini bergerak dalam mode wait and see sembari menanti sinyal baru dari The Fed dan otoritas moneter domestik.
Rupiah masih mencari sandaran kuat untuk keluar dari tekanan yang dominan berasal dari eksternal.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.