JAKARTA, Bursa.NusantaraOfficial.com – Sejumlah tantangan berat diperkirakan akan membayangi pertumbuhan sektor otomotif pada 2025. Mulai dari pengaruh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mencapai 12 persen hingga pelemahan rupiah yang dapat memperburuk daya beli masyarakat, sektor otomotif harus menghadapi realita pasar yang lebih sulit.
Peningkatan tarif PPN juga berpotensi mengurangi daya beli konsumen, yang pada gilirannya bisa memperlambat permintaan kendaraan.
Menurut riset yang diterbitkan oleh Samuel Sekuritas, situasi ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti penguatan dolar AS.
Kenaikan nilai tukar dolar berpotensi memberikan tekanan lebih pada Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga. Hal ini bisa memperburuk daya beli masyarakat, yang diperkirakan akan berdampak langsung pada penurunan permintaan kendaraan.
Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku industri otomotif, yang dihadapkan pada biaya produksi yang lebih tinggi akibat mahalnya bahan baku impor.
Ketergantungan pada komponen luar negeri menjadikan perusahaan otomotif lebih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar, yang akan menambah beban operasional.
Namun, di tengah tantangan ini, ada secercah harapan. PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA) menunjukkan ketahanan dan daya saing yang kuat berkat strategi diversifikasi mereka di sektor-sektor strategis.
Meski pasar otomotif menghadapi ketidakpastian, kedua perusahaan ini memiliki keunggulan kompetitif yang dapat mengurangi dampak negatif dari kenaikan PPN dan pelemahan rupiah.
Salah satu langkah positif yang dilakukan oleh DRMA adalah meluncurkan model baru serta suku cadang otomotif yang inovatif. Hal ini diharapkan dapat mengurangi dampak dari kenaikan PPN 12 persen yang diberlakukan pada kendaraan non-hybrid. Inovasi produk ini juga diharapkan dapat menjaga stabilitas pendapatan perusahaan meskipun pasar otomotif sedang tertekan.
Di sisi lain, ASII juga tidak tinggal diam. Astra, yang dikenal sebagai pemain besar di industri otomotif, kini memanfaatkan peluang yang muncul dari kendaraan listrik hybrid (HEV). Kendaraan jenis ini hanya dikenakan PPN sebesar 3 persen, jauh lebih rendah dibandingkan kendaraan non-hybrid yang terkena pajak 12 persen. Dengan produksi kendaraan listrik yang terus berkembang, Astra berharap dapat menumbuhkan pendapatan sekaligus mengurangi dampak dari kenaikan PPN.
Namun, tantangan bagi ASII tidak bisa dipandang sebelah mata. Penurunan penjualan mobil non-hybrid akibat kenaikan PPN menjadi isu yang perlu diwaspadai. Hal ini berpotensi memengaruhi margin keuntungan dan pendapatan Astra, terutama jika efisiensi operasional dan volume penjualan tidak memenuhi target yang ditetapkan.
Sementara itu, DRMA juga merespons dengan strategi ekspansi dan kolaborasi internasional. Kerja sama dengan perusahaan otomotif asal Tiongkok menjadi langkah strategis Dharma untuk memenuhi aturan kandungan lokal, sekaligus memperluas pangsa pasar dan menciptakan produk yang lebih berdaya saing.
Dari perspektif pasar saham, harga saham ASII yang relatif rendah saat ini bisa menjadi peluang menarik bagi investor untuk membeli, terutama dengan prospek yang cerah di sektor kendaraan listrik. Begitu pula dengan DRMA, yang memiliki target harga saham Rp1.025 dengan potensi pertumbuhan positif melalui inovasi dan diversifikasi produk.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, kedua emiten ini tetap memiliki peluang besar untuk bertumbuh dan memberikan hasil yang optimal bagi para pemegang saham, asalkan mereka dapat mengatasi dinamika pasar dan merespons perubahan kebijakan dengan cermat.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait saham, komoditas, kripto atau surat berharga lainnya. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. BursaNusantara.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.