JAKARTA, BursaNusantara.com – Wacana pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III kembali menjadi sorotan, kali ini datang dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang mempertanyakan urgensi dan arah kebijakan tersebut.
Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld S, menegaskan bahwa pengulangan tax amnesty dalam waktu berdekatan justru menjadi preseden buruk bagi sistem perpajakan nasional.
Dikhawatirkan Rusak Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Vaudy, pengampunan pajak yang kembali diwacanakan sejak pembahasan antara pemerintah dan DPR tahun lalu, memberi sinyal yang membingungkan bagi wajib pajak.
“Kalau 2016 diterapkan, lalu 2025 muncul lagi, apakah akan ada lagi di 2035? Ini preseden yang merusak kepatuhan,” ungkapnya saat ditemui di Kantor IKPI, Jumat (13/6).
Ia menilai, tax amnesty berulang dapat melemahkan semangat kepatuhan bagi wajib pajak yang selama ini sudah taat.
“Yang patuh bisa merasa tidak adil. Mereka bisa saja berpikir ‘tidak usah patuh dulu, nanti juga dimaafkan lagi,’” tegasnya.
Sejarah Panjang Pengampunan Pajak di Indonesia
Vaudy mencatat bahwa Indonesia telah tiga kali menerapkan pengampunan pajak secara resmi: di era Presiden Soekarno (1964), Presiden Soeharto (1984), dan Presiden Joko Widodo (2016).
Tak hanya itu, program sunset policy 2008 dan PPS 2021 juga membawa semangat yang serupa, meski dalam bentuk dan pendekatan berbeda.
Menurutnya, jika kebijakan ini terus digulirkan tanpa batas yang jelas, maka bukan tidak mungkin menjadi solusi instan yang menggerus prinsip keadilan fiskal.
Tax Amnesty Harus Jadi Bagian Reformasi Pajak Jangka Panjang
IKPI mengingatkan bahwa pengampunan pajak tidak boleh hanya dijadikan instrumen sesaat untuk mengejar target penerimaan negara.
“Harus jadi bagian dari arsitektur jangka panjang yang melibatkan reformasi sistem dan penguatan data,” ujar Vaudy.
Ia mendorong pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang pernah diusulkan sebelumnya, serta sistem pelaporan perpajakan yang lebih terintegrasi dan berbasis data aset nasional.
Jangan Jadi Jalan Pintas untuk Penerimaan Negara
IKPI memperingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tax amnesty sebagai shortcut fiskal semata, terutama di tengah tekanan target penerimaan tahun 2025 dan 2026.
“Jangan karena target tak tercapai lalu pakai amnesty. Ini bukan solusi jangka pendek,” tegas Vaudy.
Ia mencontohkan tax amnesty 2016 yang mengungkap harta hingga Rp 4.884 triliun dan menyumbang Rp 129 triliun ke kas negara, namun tindak lanjut datanya masih belum maksimal.
Kepatuhan Administratif Masih Rendah
Vaudy juga menyoroti rendahnya basis kepatuhan wajib pajak. Dari sekitar 80 juta pemilik NPWP, hanya 20 juta yang wajib lapor SPT, dan dari jumlah itu hanya sekitar 86% yang benar-benar menyampaikan laporan.
“Belum lagi kita bicara kualitas isi SPT-nya. Apakah akurat dan lengkap? Ini jadi pertanyaan besar,” ujarnya.
Menurut IKPI, tantangan utama bukan hanya soal pengumpulan data, tetapi bagaimana data tersebut dimanfaatkan secara optimal.
Butuh Pengawasan dan Penegakan yang Kuat
IKPI menekankan, bila Tax Amnesty Jilid III kembali dijalankan, maka harus dibarengi dengan sistem pengawasan dan penegakan hukum yang jauh lebih kuat.
“Kalau tidak, kita hanya mengulang kebijakan yang sama tanpa memperbaiki fondasi kepatuhan,” tutup Vaudy.