Digitalisasi Perpajakan: Langkah Besar Menuju Penerimaan Negara Rp 1.500 Triliun
JAKARTA, Bursa.NusantaraOfficial.com – Pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan penerimaan negara, salah satunya melalui implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Core Tax Administration System. Sistem ini digadang-gadang menjadi kunci utama dalam optimalisasi penerimaan negara dengan target mencapai Rp 1.500 triliun.
Dengan digitalisasi melalui core tax, basis data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tidak hanya bergantung pada laporan wajib pajak, tetapi juga terintegrasi dengan sumber data lain. Hal ini memungkinkan proses pencatatan, pelaporan, hingga pengawasan dilakukan secara real-time. Dampaknya, kepatuhan wajib pajak diharapkan meningkat, yang pada akhirnya mendorong kenaikan penerimaan pajak secara signifikan.
Potensi Ekonomi dan Tantangan Pajak di Indonesia
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa potensi penerimaan pajak di Indonesia masih jauh dari optimal. Menurut laporan Bank Dunia, tingkat kepatuhan pajak Indonesia setara dengan Nigeria, yang mencerminkan perlunya reformasi besar-besaran dalam sistem perpajakan. Bank Dunia memperkirakan implementasi core tax dapat menambah penerimaan pajak sebesar 6,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), setara Rp 1.500 triliun.
“Jika kita berhasil melaksanakan program ini, kita bisa mendapatkan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 1.500 triliun. Namun, realisasinya diperkirakan mencapai Rp 1.200 triliun, terutama dari sektor-sektor yang selama ini kurang tergarap,” ujar Luhut dalam konferensi di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Sebagai contoh, di DKI Jakarta, dari 100 juta unit kendaraan bermotor, hanya 50% yang membayar pajak. Dengan core tax, pelacakan wajib pajak menjadi lebih efisien, sehingga potensi penerimaan dapat dioptimalkan.
Dampak Positif Core Tax pada Ekonomi
Implementasi core tax diharapkan membawa efek domino pada berbagai sektor ekonomi. Salah satunya adalah peningkatan daya beli masyarakat. Luhut menjelaskan, penerimaan pajak yang terkumpul akan dialokasikan untuk mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Penerimaan pajak yang meningkat akan digunakan untuk meningkatkan daya beli kelas menengah bawah. Ini adalah bagian dari upaya kita untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif,” jelas Luhut.
Sekretaris Eksekutif DEN, Septian Hario Seto, menambahkan bahwa digitalisasi merupakan elemen kunci dalam transformasi ekonomi Indonesia. Dengan integrasi data yang lebih baik, DJP dapat melakukan profiling wajib pajak, cross-check, dan analisis mendalam terhadap sumber-sumber penerimaan pajak.
“Digitalisasi memberikan kemampuan deteksi yang lebih canggih. Data wajib pajak tidak lagi hanya berdasarkan laporan mereka sendiri, tetapi juga terhubung dengan berbagai sumber data lainnya,” terang Seto.
Kendala Implementasi Core Tax
Meski menjanjikan banyak manfaat, implementasi core tax masih menghadapi sejumlah kendala teknis. Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, menjelaskan bahwa volume penggunaan sistem yang besar menyebabkan gangguan akses di awal penerapan. Selain itu, sistem ini juga harus terintegrasi dengan infrastruktur dari pihak ketiga, yang memerlukan waktu untuk penyempurnaan.
“Kami bekerja 24/7 untuk memantau keluhan wajib pajak dan menyelesaikan masalah yang muncul. Ini adalah proses yang membutuhkan waktu, tetapi kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas sistem,” jelas Suryo.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai bahwa tantangan terbesar dari penerapan core tax adalah kebutuhan waktu untuk menghasilkan penerimaan pajak yang signifikan. Ia juga menyoroti bahwa pemerintah menghadapi tekanan untuk memenuhi target penerimaan dalam waktu singkat.
Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak
Anggota DEN, Muhammad Chatib Basri, menyatakan bahwa kepatuhan pajak adalah elemen kunci dalam optimalisasi penerimaan. Menurutnya, data adalah “new oil” yang memungkinkan pemerintah melakukan monitoring dan analisis lebih mendalam.
“Dengan core tax, pemerintah bisa mendeteksi ketidakpatuhan, seperti aset yang belum dilaporkan oleh wajib pajak. Ini adalah langkah besar dalam meningkatkan efisiensi pengelolaan pajak,” kata Chatib.
Namun, ia juga menekankan pentingnya realisme dalam menghadapi tantangan implementasi. “Digitalisasi bukan solusi instan. Dibutuhkan waktu untuk membangun sistem yang benar-benar efektif,” tambahnya.
Target Ambisius 2025
Untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp 2.021 triliun di tahun 2025, pemerintah memerlukan tambahan Rp 256,9 triliun dari realisasi tahun 2024. Menurut data historis, tambahan penerimaan pajak rata-rata sebelum pandemi hanya sekitar Rp 68,62 triliun per tahun. Hal ini menunjukkan betapa ambisiusnya target pemerintah.
Pengamat mencatat bahwa faktor-faktor seperti lonjakan harga komoditas, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan kenaikan tarif PPN tidak akan terulang di tahun mendatang. Oleh karena itu, pemerintah harus mengandalkan strategi baru, termasuk penerapan core tax, untuk mencapai target.
Digitalisasi perpajakan melalui core tax merupakan langkah strategis yang dapat mengubah lanskap perpajakan Indonesia. Meski menghadapi berbagai tantangan, sistem ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan penerimaan negara hingga Rp 1.500 triliun. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, transparansi, dan akuntabilitas, Indonesia dapat mencapai target penerimaan pajak yang ambisius dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.