JAKARTA, bursa.nusantaraofficial.com – Kebijakan kenaikan pungutan ekspor (PE) untuk minyak sawit mentah (CPO) kembali menjadi sorotan. Rencana pemerintah menaikkan PE dari 7,5% menjadi 10% dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi petani kelapa sawit. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) memperkirakan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani bisa turun Rp 300-500 per kilogram (kg) akibat kebijakan ini.
Rencana kenaikan ini muncul seiring target implementasi program biodiesel B40 yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Pemerintah berharap tambahan dana dari kenaikan PE dapat menopang insentif biodiesel melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun, SPKS menilai kebijakan ini berpotensi merugikan petani, mengingat dampak langsungnya akan dirasakan oleh mereka yang berada di mata rantai terbawah industri kelapa sawit.
Kritik Terhadap Kebijakan PE Baru
Ketua Umum SPKS Nasional, Sabarudin, menegaskan bahwa pemerintah seharusnya lebih berpihak pada petani sawit. Menurutnya, setiap beban ekonomi seperti pajak dan pungutan ekspor pada CPO selalu diteruskan hingga ke petani. “Kami perkirakan dengan kenaikan tarif PE sebesar 2,5%, harga TBS petani sawit akan turun Rp 300-500 per kg,” jelasnya.
Sabarudin juga menyoroti penggunaan dana BPDPKS yang selama ini cenderung lebih banyak dialokasikan untuk produsen biodiesel. Ia menyarankan agar pemerintah melibatkan TBS petani sawit sebagai bahan baku biodiesel untuk mengurangi beban subsidi dan mencegah kenaikan tarif PE lebih lanjut. “Langkah ini akan menguntungkan semua pihak tanpa harus memberatkan petani sawit,” tambahnya.
Dampak Jangka Panjang pada Petani Sawit
Kenaikan PE CPO juga berpotensi memperburuk kondisi petani sawit dalam jangka panjang. Dengan harga TBS yang rendah, petani kesulitan membeli pupuk dan melakukan perawatan kebun secara optimal. Hal ini akan berdampak pada produktivitas kebun sawit dan dapat menurunkan pasokan bahan baku untuk program biodiesel.
Selain itu, rendahnya harga TBS juga menyulitkan petani dalam memenuhi standar sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yang merupakan program pemerintah untuk meningkatkan keberlanjutan industri sawit nasional.
Aspek Regulasi dan Teknologi
Berdasarkan PMK No 62 Tahun 2024, tarif PE CPO diubah menjadi persentase dari harga referensi yang ditetapkan Kementerian Perdagangan. Aturan ini mulai berlaku sejak 22 September 2024. Namun, belum ada kejelasan mengenai tarif untuk produk olahan sawit lainnya. Sabarudin mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam pengelolaan dana BPDPKS dan mereformasi model insentif biodiesel agar lebih adil bagi petani sawit.
SPKS juga meminta pemerintah mengkaji ulang teknologi yang digunakan dalam industri biodiesel untuk memastikan efisiensi biaya. Dengan keterlacakan bahan baku dari petani sawit, model subsidi biodiesel dapat dihitung ulang untuk mengurangi ketergantungan pada pungutan ekspor yang membebani petani.
Rencana kenaikan pungutan ekspor CPO menjadi 10% bukanlah solusi terbaik untuk mendukung program biodiesel B40. Sebaliknya, kebijakan ini berpotensi merugikan petani sawit yang menjadi tulang punggung industri kelapa sawit Indonesia. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjangnya dan mencari alternatif kebijakan yang lebih berpihak pada petani.
SPKS menyerukan agar seluruh pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Keuangan, mendahulukan penyelesaian masalah di sektor sawit sebelum menerapkan kebijakan baru. Transparansi, keadilan, dan keberlanjutan harus menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan terkait industri kelapa sawit.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi industri sawit tanpa harus mengorbankan kesejahteraan petani lokal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di: